PDM Kota Padang - Persyarikatan Muhammadiyah

 PDM Kota Padang
.: Home > Artikel

Homepage

Fiqh ad-Dakwah: Meningkatkan Kualitas Dakwah Muhammadiyah

.: Home > Artikel > PDM
25 Desember 2018 23:12 WIB
Dibaca: 2072
Penulis : Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas, Lc., M.Ag.

Image result for yunahar ilyas tahun 2000

 

 

Pendahuluan

 

Sebagai gerakan dakwah, Muhammadiyah sudah berdakwah dalam waktu yang relatif lama (89 tahun menurut kalender Miladiyah dan  92 tahun menurut kalender Hijriyah), baik berdakwah secara langsung melalui tabligh maupun tidak langsung melalui aktivitas-aktivitas lainnya. Secara kuantitas, dapat dipastikan gerakan dakwah Muhammadiyah relatif selalu mengalami peningkatan, terutama jika dilihat dari amal usaha yang dikelola Muhammadiyah. Tetapi bagaimana dengan kualitasnya?

 

Makalah ini tidak akan membicarakan tentang dakwah Muhammadiyah secara keseluruhan, tapi terbatas dalam persoalan dakwah dalam arti langsung yang di lingkungan Muhammadiyah populer dengan sebutan tabligh. Jika dalam judul dan isi makalah ini digunakan istilah dakwah, tentu yang dimaksud adalah tabligh dengan segala bentuknya. Jadi, meningkatkan kualitas dakwah  Muhammadiyah harap dibaca sebagai meningkatkan kualitas tabligh Muhammadiyah.

 

Sekadar untuk penyegaran, sebelum kita berbicara tentang bagaimana konsep dan realitas dakwah di lingkungan Muhammadiyah ada baiknya setelah pendahuluan ini kita  berbicara sedikit tentang risalah Islam dan kewajiban mendakwahkannya baik secara individual maupun kolektif. Baru kemudian kita akan berbicara tentang meningkatkan kualitas  dakwah dengan pendekatan empat unsur dakwah, yaitu da’i, mad’u, tema dan metode. Dengan menggunakan empat unsur dakwah tersebut kita akan mencoba melihat secara bersama-sama bagaimana realitasnya di dalam lingkungan Muhammadiyah.

 

 

Risalah Islam

 

Sebagai Rasulullah yang terakhir, Nabi Muhammad SAW membawa risalah yang dialamatkan kepada seluruh umat manusia. Allah SWT berfirman:

 

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

 

“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.”(Q.S. As-Saba’ 34: 28).

 

 

Kepada seluruh umat manusia disampaikan berita yang menggambarkan nilai-nilai kejadiannya sendiri, dan martabatnya di antara seluruh makhluk ciptaan Allah.

 

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ

 

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”(Q.S. At-Tin 95:4).

 

 

Manusia paling sempurna susunan jasmaniahnya dibandingkan dengan jenis makhluk lain, dan paling sempurna pula susunan ruhaniyahnya. Dia mempunyai jasad dan ruh, mempunyai panca indera yang menghubungkannya dengan alam luar, mempunyai nafsu sebagai pendorong, mempunyai akal untuk berfikir, mempunyai hati untuk merasa, mempunyai nurani yang mendorongnya untuk menjauhi yang buruk dan menuju yang baik.

Dengan segala unsur-unsur jasmaniyah dan ruhaniyah itu manusia mempunyai potensi untuk meningkat ke taraf yang lebih tinggi, lebih indah dan murni yaitu bila unsur-unsur yang dimiliki itu digunakan sesuai dengan undang-undang, hukum atau sunnatullah yang telah ditetapkan oleh Penciptanya. Bila tidak, martabat manusia bisa meluncur ke tingkat yang lebih rendah, bahkan sangat rendah.

 

ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ

 

“Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka).”(Q.S. At-Tin 95: 5).

 

 

Oleh sebab itu potensi yang ada pada diri manusia memerlukan tuntunan, hidayah, bimbingan wahyu sehingga manusia dapat selalu menjaga kemurniaan fitrahnya dan mengembangkannya sesuai dengan tuntunan Allah Sang Pencipta. Dalam bahasa Mohammad Natsir, Wahyu memanggil fitrah, fitrah menghajatkan wahyu. (Fiqh Dakwah 1981:2)

 

            Semenjak diangkat menjadi Rasul, sampai ajal datang menjemput, Rasulullah SAW telah menjalankan tugasnya menyampaikan Risalah Islam. Tugas itu diteruskan oleh para sahabat, tabi’in, tabiit-tabi’in dan generasi seterusnya sampai generasi kita sekarang ini. Risalah merintis, dakwah melanjutkan.

 

 

Kewajiban Berdakwah

 

            Dakwah adalah kewajiban setiap muslim, baik individual maupun kolektif. Allah berfirman:

 

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

 

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”(Q.S. Ali Imran 3:104)

 

 

Jika min dalam ayat di atas (minkum) adalah min bayaniyah, maka dakwah menjadi kewajiban setiap orang (individual), tapi jika min itu adalah min tab’idhiyyah (menyatakan sebagian) maka dakwah menjadi kewajiban kolektif umat atau fardhu kifayah. Kedua pengertian itu dapat digunakan sekaligus. Untuk hal-hal yang mampu dilakukan secara individual, dakwah menjadi kewajiban individual (fardhu ‘ain), sedangkan untuk hal-hal yang hanya bisa dilakukan secara kolektif, maka dakwah menjadi kewajiban kolektif (fardhu kifayah). Setiap orang wajib berdakwah, baik secara aktif maupun pasif. Secara pasif dalam arti diri dan kehidupannya dapat menjadi contoh hidup dari keluhuran dan keutamaan ajaran Islam.

Kewajiban setiap individu berdakwah, di samping dinyatakan oleh ayat di atas juga ditegaskan oleh Rasulullah SAW. Setelah menyampaikan pesan-pesan penting dan mendasar dalam Haji Wada’, Rasulullah bersabda:

 

فَلْيُبَلِّغِ الشَّاهِدُ الْغَائِبَ فَإِنَّهُ رُبَّ مُبَلِّغٍ يُبَلِّغُهُ لِمَنْ هُوَ أَوْعَى لَهُ (رواه البخارى)

 

…maka hendaklah yang menyaksikan di antara kamu menyampaikan kepada yang tidak hadir, karena boleh jadi yang hadir itu menyampaikannya kepada orang yang lebih dalam memperhatikannya daripada sebagian yang mendengarkannya…”.(H. R. Bukhari)

 

 

Dalam kesempatan lain Rasulullah menegaskan:

 

بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً (رواه البخارى)

 

“…Sampaikanlah apa yang (kamu terima) dariku, walaupun satu ayat…” (H.R. Bukhari)   

 

 

Salah satu yang dapat menyelamatkan manusia dari kerugian adalah apabila mereka mau saling mengingatkan (berdakwah) dengan kebenaran dan kesabaran. Allah berfirman:

 

وَالْعَصْرِ(1)إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ(2)إِلَّا الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ(3)

 

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Q.S. Al-‘Ashri 103:1-3)

 

 

Selain sebagai sebuah kewajiban, baik individual maupun kolektif, dakwah adalah sebuah amal yang sangat tinggi nilainya di sisi Allah SWT. Allah SWT berfirman:

 

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

 

Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?" (Q.S. Fushshilat 41:33)

      

     

Kompetensi Da’i

 

Bila seseorang berdakwah secara aktif (bukan hanya pasif) maka sebaiknya yang bersangkutan memenuhi kompetensi seorang da’i. Dalam buku Islam dan Dakwah yang diterbitkan oleh Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah (1987) dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi da’i adalah adalah sejumlah pemahaman, pengetahuan, penghayatan dan prilaku serta ketrampilan tertentu yang harus ada pada diri da’i, agar dia dapat melakukan fungsinya dengan memadai. Kompetensi itu ada yang bersifat substantif dan ada yang bersifat metodologis.

 

Kompetensi substantif seorang da’i adalah:

1.      Pemahaman agama Islam secara cukup, tepat dan benar;

2.      Memiliki al-akhlaq al-karimah

3.      Mengetahui perkembangan pengetahuan umum yang relatif luas;

4.      Pemahaman hakekat dakwah;

5.      Mencintai audiens dengan tulus;

6.      Mengenal kondisi lingkungan dengan baik; dan 

7.      Mempunyai rasa ikhlas li wajhillah .

 

Sedangkan kompetensi motodologis da’i adalah:

1.      Kemampuan melakukan identifikasi permasalahan dakwah yang dihadapi, baik tingkat individu maupun tingkat masyarakat;

2.      Kemampuan untuk mendapatkan informasi mengenai ciri-ciri obyektif dan subyektif objek dakwah serta kondisi lingkungannya;

3.      Kemampuan menyusun langkah perencanaan yang benar-benar dapat diharapkan menyelesaikan problem masyarakat atau menjawab pemasalahan dakwah yang ada; dan

4.      Kemampuan untuk merealisasikan perencanaan dalam pelaksanaan kegiatan dakwah.

 

Kemampuan pertama, kedua dan ketiga di atas, sebenarnya bukan merupakan fardhu ‘ain bagi seorang da’i. Apabila sudah tersedia informasi dan perencanaan dakwah yang memadai, da’i hanya tinggal memodifikasinya saja, tergantung pada situasi sesaat yang dihadapi. Hal ini dapat terjadi kalau Lembaga Dakwah yang ada, telah dapt melakukan fungsi perencanaannya dengan baik. Bila tidak, tentu saja seorang da’i harus melakukan perencanaan sendiri. (Islam dan Dakwah 1987: 137-143). 

 

            Sebagaimana yang sudah disebutkan di atas, salah satu kompetensi da’i adalah memiliki al-akhlaq al-karimah yang terlihat dalam seluruh aspek kehidupannya. Dalam buku Min Akhlaq ad-Da’iyah (1411 H), Salman ibn Fahd al-‘Audah, menyebutkan beberapa sifat khusus yang harus dimiliki oleh seorang da’i-- disamping akhlaq mulia pada umumnya. Akhlaq khusus itu adalah:

 

1.      Shidiq,

2.      Sabar,

3.      Tawadhu’,

4.      ‘Adil,

5.      Lemah lembut dan

6.      Selalu ingin meningkatkan kualitas amal ibadahnya kepada Allah SWT.

 

Lebih dari pada itu, kunci utama keberhasilan dakwah seorang da’i  adalah satunya kata dan perbuatan. Salah satu sebab utama keberhasilan dakwah Rasulullah SAW adalah karena  perbuatan beliau selalu sejalan dengan apa yang dikatakan. Allah mengancam seorang da’i atau siapa saja yang perbuatannya tidak sejalan dengan perkataannya, atau hanya bisa berkata tapi tidak mau berbuat.

 

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ(2)كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ

 

“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.”(Q.S. Ash-Shaf 61: 2-3)

 

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

 

“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berakal?”(Q.S. Al-Baqarah 2:44)

 

 

Demikianlah secara konseptual kompetensi seorang da’i atau muballigh Muhammadiyah.. Tetapi bagaimana dalam realitasnya?  Pengurus Majelis disemua level tentu sedikit banyaknya sudah dapat memberikan penilaian, walaupun secara sepintas. Untuk mendapatkan data yang lebih valid, masing-masing daerah sebaiknya melakukan penelitian baik secara mandiri maupun  bekerjasama dengan lembaga lain baik intern maupun ekstern Muhammadiyah. Dalam hal ini dengan koordinasi Majelis Diktilitbang, penelitian-penelitian di Perguruan Tinggi Muhammadiyah dapat diarahkan untuk menjawab pertanyaan tersebut.

 

Bila kita asumsikan kompetensi Muballigh Muhammadiyah belum memadai terutama dalam mehami ajaran agama Islam, termasuk dalam penguasaan bahasa Arab, sangatlah mendesak untuk segera secara intensif di setiap daerah maupun wilayah diadakan kursus-kursus, pelatihan-pelatihan dan kajian-kajian dalam masalah ini. Para pengurus Majelis hendaknya dapat membantu para muballigh Muhammadiyah  untuk mengakses referensi yang dibutuhkan dalam pemahaman ajaran Islam, baik buku-buku, majalah-majalah maupun jurnal-jurnal.

 

Begitu juga halnya dalam masalah kompetensi metodologis, walaupun tingkat intensifitas pelatihan dan kajian-kajian dalam masalah metologis ini tidak harus setinggi peningkatan kompetensi substantif. Tidak kalah pentingnya adalah masalah akhlaq da’i Muhammadiyah. Bagaimanapun, faktor keteladanan ini sangat menentukan dalam keberhasilan dakwah.

 

 

Sasaran Dakwah

 

Sasaran dakwah atau mad’u dapat dikategorikan berdasarkan beberapa faktor. Dari segi iman, mad’u dibagi menjadi dua, yang sudah beriman (disebut umat ijabah) dan yang belum beriman (disebut umat dakwah). Yang  pertama dengan target meningkatkan keimanan dan keislamannya, dan kedua dengan target mengajaknya masuk Islam. Dari segi status sosial-ekonomi, mad’u terbagi menjadi kelompok elite (malak)  dan kelompok lemah dan tertindas (dhu’afa dan mustadh’afin). Dalam sejarah dakwah yang dilakukan para Nabi, kelompok elite lebih sulit menerima dakwah dibandingkan dengan kelompok lemah. Perhatikan dalam beberapa ayat berikut ini bagaimana komentar kaum elite tatkala diajak oleh Nabi Nuh untuk menyembah Allah SWT.

 

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ إِنِّي لَكُمْ نَذِيرٌ مُبِينٌ(25)أَنْ لَا تَعْبُدُوا إِلَّا اللَّهَ إِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ أَلِيمٍ(26)فَقَالَ الْمَلَأُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَوْمِهِ مَا نَرَاكَ إِلَّا بَشَرًا مِثْلَنَا وَمَا نَرَاكَ اتَّبَعَكَ إِلَّا الَّذِينَ هُمْ أَرَاذِلُنَا بَادِيَ الرَّأْيِ وَمَا نَرَى لَكُمْ عَلَيْنَا مِنْ فَضْلٍ بَلْ نَظُنُّكُمْ كَاذِبِينَ(27)

 

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, (dia berkata): "Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kamu, agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya aku khawatir kamu akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat menyedihkan". Maka berkatalah pemimpin-pemimpin (elite) yang kafir dari kaumnya: "Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apapun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta."( Q.S. Hud 11:25-27).

 

 

Kaum elite menolak dakwah karena takut kehilangan hak-hak “istimewanya” yang didapat dengan cara-cara yang zalim (seperti Fir’aun, Qarun, Haman, Ruhban dalam kasus Nabi Musa AS, Umayyah ibn Khalaf dan Abu Lahab dalam kasus Nabi Muhammad SAW), sedangkan kaum dhu’afa’ merasa senang menerima dakwah karena hak-haknya akan diperjuangkan. Namun demikian, dalam prakteknya, kelompok lemah tidak dapat segera masuk Islam karena ada hambatan dari kelompok elite dengan segala macam cara (Ingat kasus Bilal, dan keluarga Yaser pada zaman Nabi Muhammad). Di samping dua kategori di atas, mad’u juga dapat dibagi berdasarkan kategori jenis kelamin, umur, pendidikan dan lain sebabagainya. Kategorisasi seperti itu diperlukan untuk menentukan metode dan pendekatan yang tepat sasaran.

 

Selama ini sasaran dakwah Muhammadiyah lebih diutamakan orang-orang yang sudah beriman, sedangkan kepada orang-orang yang belum beriman hanya dilakukan oleh para da’i khusus yang ada di pedalaman atau di suku-suku terasing yang jumlahnya sampai sekarang lebih kurang 150 orang. Untuk orang-orang yang berimanpun, Muhammadiyah  selama ini lebih banyak berdakwah di kalangan apa yang dikategorikan oleh para pengamat dan ahli sebagai kaum modernis, sementara untuk kaum tradisional atau kelompok marginal baik di pedesaan maupun di perkotaan belum banyak tersentuh oleh dakwah Muhammadiyah, padahal dari segi jumlah, pupulasi mereka lebih banyak, paling kurang jika kita mengacu kepada hasil Pemilihan Umum 1999 yang lalu.

 

Muhammadiyah juga lebih banyak berdakwah di tempat-tempat yang memang orang-orang yang datang ke sana relatif sudah agak baik, seperti mesjid-mesjid atau majelis-majelis ta’lim, tetapi bagaimana dengan tempat-tempat yang masyarakatnya mungkin tidak akrab dengan suasana keagamaan, baik tempat kerja, kawasan hiburan atau kawasan pemukiman, terutama pemukiman yang kumuh? Bukankah mereka juga sasaran dakwah yang harus menjadi perhatian Muhammadiyah.

 

Dan yang tidak boleh dilupakan tentu saja dakwah di kalangan intern Muhammadiyah sendiri. Kalaupun Muhammadiyah tidak dapat mengjangkau sasaran dakwah yang lebih luas, paling kurang anggota dan pengurus Muhammadiyah sendiri tidak boleh lupa untuk selalu mendapatkan pembinaan keberagamaan, baik dalam hal-hal yang menyangkut kesalehan individual, maupun kesalehan sosial. Ditengarai belakangan ini intensitas pengajian-pengajian dilingkungan Muhammadiyah semakin menurun, baik ditingkat wilayah, daerah, cabang, apalagi ranting. Begitu juga pengajian-pengajian di lingkungan amal usaha Muhammadiyah. Oleh sebab itu pengurus Muhammadiyah, terutama pengurus Majelis Tabligh dan Dakwah Khususnya harus lebih aktif lagi menggerakan pengajian-pengajian ini.

 

 

Tema Dakwah

 

Secara umum tema yang disampaikan tentulah semua ajaran Islam baik yang menyangkut aqidah, ibadah, akhlaq maupun muamalah duniawiyah. Namun demikian secara khusus tentu perlu ada perencanaan yang matang dalam menentukan prioritas, tahapan, kurikulum, silabi sampai kepada materi yang diberikan, sehingga pesan yang di sampaikan tepat dan pas dengan sasaran dakwah.

 

Tema-tema dakwah yang di sampaikan haruslah menyentuh sampai hal-hal yang substantif, tidak hanya bergerak di permukaan atau kulit-kulitnya saja. Dakwah haruslah bersifat solutif untuk segala persoalan kehidupan yang dihadapi oleh umat. Akibat dari dakwah yang yang bersifat artifisial dan tidak solutif maka kita melihat dengan kasat mata di masyarakat dakwah tidak efektif dan lebih banyak bersifat rekreatif atau dekoratif. Perhatikanlah bagaimana kita melihat bahwa tidak ada korelasi yang signifikan antara maraknya kegiatan dakwah atau tabligh dengan perobahan prilaku masyarakat.

 

Majelis Tabligh dan Dakwah khusus diharapkan dapat membantu para muballigh meneliti, mengkaji dan menyiapkan materi-materi dakwah yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam rangka mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Materi-materi yang disiapkan harus mencakup semua lapisan masyarakat dengan berbagai kategorinya. Pedoman Hidup Islami bagi warga Muhammadiyah yang dihasilkan oleh Muktamar Muhammadiyah ke-44 di Jakarta adalah salah satu materi dakwah yang perlu segera disosialisasikan kepada seluruh warga Muhammadiyah. Untuk itu perlu diadakan kajian pendalaman terhadap Pedoman Hidup Islami tersebut oleh seluruh pengurus dan muballigh Muhammadiyah di seluruh level, mulai dari pusat sampai ranting.

 

 

Metode Dakwah

 

            Salah satu faktor penentu keberhasilan dakwah adalah metode yang tepat. Rasulullah SAW sangat berhasil dalam berdakwah karena beliau dapat menyampaikan pesan yang tepat kepada orang yang tepat dengan cara yang tepat pada waktu yang tepat. Dalam bahasa Al-Qur’an metode yang tepat itu adalah bil-hikmah wal-mau’izhah al-hasanah seperti dalam firman Allah berikut ini:

           

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

 

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”(Q.S. An-Nahl 16:125).

 

 

Bil-hikmah artinya bin-nash wal-‘aqli (menggunakan nash dan akal). Dakwah tetap mengacu kepada nash (Al-Qur’an dan Sunnah) tapi menggunakan akal dalam menentukan pemilihan terhadap nash mana yang akan disampaikan lebih dahulu (menyangkut tahapan dan silabi dakwah), bagaimana menyampaikannya (media dan cara yang digunakan) yang sesuai dengan keadaan sasaran dakwah.

 

Dalam menentukan tahapan dakwah misalnya sebagian ahli membuat tiga tahapan dakwah:

1.      Tahapan penyampaikan pesan (marhalah tabligh);

2.      Tahapan pengajaran (marhalah ta’lim);

3.      Tahapan pembinaan (marhalah takwin);

4.      Tahapan pengorganisasian (marhalah tanzhim);

5.      Tahapan pelaksanaan (marhalah tanfizh).

 

Dalam tahapan-tahan di atas dapat kita lihat bahwa tabligh adalah merupakan tahap awal dari kegiatan dakwah secara keseluruhan. Untuk dapat berhasil mengajak mad’u memahami dan mengamalkan ajaran Islam dalam seluruh aspek kehidupannya masih diperlukan lagi beberapa tahap berikut setelah tabligh. Sungguh sangat keliru kalau seorang da’i menganggap tabligh adalah satu-satunya cara, atau menjadikan tabligh terlepas sama sekali dari tahapan lainnya. Oleh sebab itu kegiatan dakwah tidak dapat dilakukan secara sendirian, tapi harus bersama-sama (berjama’ah atau berorganisasi) sehingga tahapan-tahapan dakwah tersebut dapat dijalankan secara terencana dan bertahap.

 

Sedangkan penentukan media yang digunakan dapat disesuaikan dengan kemampuan dan fasilitas yang ada serta kebutuhan dan kemampuan penerimaan sasaran dakwah. Apakah akan menggunakan media tradisional (ceramah dan khutbah) atau multi media baik elektronik maupun audiovisual.

 

Apapun metode yang diikuti, selain mempertimbangkan efektifitas dan efisiensi, tidak boleh dilupakan adalah bahwa semua metode yang digunakan tidak boleh menyimpang atau bertentangan dengan nash Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam berdakwah sekalipun, tujuan tetap tidak menghalalkan cara.

 

Khusus mengenai media yang digunakan dalam dakwah Muhammadiyah, harus diakui bahwa kita belum banyak memanfaatkan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi dalam berdakwah. Media yang dominan digunakan masih tradisional, yaitu mimbar, sedangkan media-media elektronik dan audio visual lainnya masih dalam tahap perintisan untuk penggunaannya. Walaupun sejak priode Muktamar Aceh yang lalu Majelis Tabligh sudah mencanangkan dan menjadikan program, tapi sampai hari ini kita tetap belum dapat merealisasikanya, kecuali beberapa paket audio visual. Mudah-mudahan ke depan kita dapat lebih giat lagi berusaha untuk mewujudkannya.

 

 

Penutup

 

Demikianlah beberapa teori dan potret selintas tentang dakwah Muhammadiyah yang perlu kita usahakan terus menerus untuk meningkatkannya, baik dari sisi da’i atau muballighnya, sasaran dakwah, tema-tema maupun metode dakwah, semoga ke depan dakwah Muhammadiyah dapat lebih berhasil lagi.

 

 

 

Catatan:

Artikel ini pernah disampaikan sebagai makalah dalam Pelatihan Muballigh Muhammadiyah Sumatera Barat di Padang, 30 Agustus-3 September 2001, saat menjadi Ketua Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2000-2005; Sekarang, Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas, Lc., M.Ag. adalah Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2015-2020 (Bidang Tarjih, Tajdid dan Tabligh).


Tags: Fiqhad-Dakwah:MeningkatkanKualitasDakwahMuhammadiyah , YunaharIlyas

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website